Senin, Agustus 31, 2009

MADRASAH, KOMUNITAS YANG TERBAYANGKAN

Oleh : Adang Hambali

Mencitrakan madrasah sebagai “komunitas yang terlupakan” (forgotten community) atau “komunitas yang terpinggirkan” (margined community), sudah saatnya untuk mulai diminimalisir dan dihindari. Sebab, citra-citra yang diterapkan dan dibangun pada madrasah maupun “pendidikan islam” secara umum saat ini cenderung (selalu) negatif. Citra-citra ini dibangun dari dalam maupun dari luar. Yang pada gilirannya hanya membuat citra madrasah dan guru madrasah selalu dianggap “buruk”, “negatif”, “tertinggal”, “takterperhatikan”, atau stereotip-stereotip negatif lainnya.

Dalam penelitian saya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), hal ini justru membawa preseden buruk bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia secara umum. Sebab, citra negatif yang terus-menerus terbangun (constructed image), cenderung menumbuhkan pesimisme dan rasa minder di tengah-tengah mereka yang bersinggungan dengan dunia madrasah. Bila terus menerus dibiarkan, tentu saja hal ini akan membawa dampak buruk berupa stagnasi atau bahkan degradasi kualitas madrasah, sebab citra tadi akan menjadi “kurung” yang akan menghalangi seluruh stakeholders madrasah untuk berkembang dan berinovasi.

Komunitas yang terbayangkan

Persoalan citra, mungkin sepintas seperti persoalan sederhana. Namun, menurut David Chaney (1996), citra bisa membentuk persepsi, persepsi membentuk sikap, sikap membentuk perilaku, dan perilaku menentukan citra yang baru. Dari sini, ada dua efek yang mungkin terbangun. Pertama, bila citra negatif yang selalu disematkan pada madrasah mampu membangun “daya berontak” untuk keluar dari citra negatif tersebut, mungkin akan sangat baik. Sabab dari sini akan muncul kalangan yang berusaha mengubah citra itu menjadi citra yang baik.
Namun celakanya efek yang kedua, bila citra negatif itu ditangkap sebagian orang yang lain, yang terbangun justru adalah rasa minder dan pengakuan diam-diam (silent confession) atas citra negatif tersebut. Di benak para pendiri PGM, mungkin efek pertama yang terbangun. Namun di benak sebagian yang lain—seperti saya, efek kedua diam-diam menyelinap dalam hati; membuat saya mengelus dada dan berkata, “oh, malangnya madrasah…”
Istilah “komunitas terbayangkan” mungkin sudah tidak asing lagi di ranah ilmu sosial, baik kajian budaya, sosiologi, politik, maupun hubungan antarbangsa. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang sosiolog asal Cornell University, Bennedict Anderson, dalam bukunya yang berjudul Imagined Community (1991). Sebenarnya Ben Anderson berusaha menganalisis masalah kesukuan dan kebangsaan. Ia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa masyarakat dari suku-suku tertentu yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia selalu bersatu dengan masyarakat lain yang sesuku, dan membayangkan kampung halamannya sebagai “komunitas terbayangkan” yang harus dijaga nama baiknya, diharumkan namanya.
Bila kita berada di luar Jawa Barat (Sunda), di Moskow misalnya, dan bertemu dengan seseorang yang juga berasal dari Sunda, kita akan bercengkrama akrab tantang Sunda; tentang Gunung Tangkuban Parahu, Prabu Siliwangi, atau masa depan budaya Sunda; tidak tentang Rusia atau pemerintahan Tsar yang digusur Lenin. Walaupun tidak pernah bertemu, tidak pernah berinteraksi, tidak pernah melakukan kontak, atau sudah lama kehilangan kontak, kita akan tetap (merasa) menjadi satu komunitas, merasa satu Sunda: “komunitas yang terbayangkan”.
Bila citra madrasah sebagai “komunitas yang terbayangkan” ini terbangun dengan baik, maka mereka yang di Ciamis, Cianjur, Bandung, Cirebon, Garut, atau di manapun yang memiliki hubungan tertentu dengan madrasah akan merasa sebagai satu komunitas yang terhubung satu sama lain dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baiknya, mengharumkan namanya.
Mengapa berusaha menjadikan Imagined Community sebagai citra madrasah? Sebab inilah yang paling dibutuhkan madrasah sebagai matra penting pendidikan Islam (di Indonesia) saat ini. Rasa memiliki yang tinggi, rasa kesatuan, dan tanggung jawab untuk bersama-sama memajukan madrasah adalah modal penting yang harus dimiliki. Sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia merupakan kekuatan potensial dalam melahirkan solidaritas antar anggota komunitas: solidaritas untuk membangun madrasah, solidaritas untuk meningkatkan peran madrasah di berbagai aspek, solidaritas mencapai suatu tujuan yang telah digantungkan bersama.
Coba hitung berapa orang yang mungkin terhubung dengan komunitas madrasah ini? Tentu banyak sekali. Bila citra komunitas yang terbayangkan ini terbangun dengan baik, maka, seperti diutarakan Ben Anderson, perasaan sebagai anggota komunitas yang terbayangkan tak terpengaruh ruang dan waktu. Siapapun yang pernah berhubungan dengan madrasah akan memiliki rasa memiliki terhadap madrasah, meskipun mereka telah tersebar di berbagai bidang kehidupan; guru madrasah maupun bukan, santri madrasah maupun bukan, pemegang kebijakan madrasah maupun bukan.

Apresiasi untuk PGM

Keberadaan Persatuan Guru Madrasah (PGM) dengan visi “Terwujudnya Guru Madrasah yang Berkualitas, Sejahtera, dan Bermartabat”, mungkin bisa menjadi awal yang baik dalam rangka membangun citra madrasah sebagai “komunitas yang terbayangkan” di kalangan para guru madrasah. Para guru madrasah di Jawa Barat, baik guru mengaji, RA, MI, MTs, maupun MA yang berada di seluruh daerah di Jawa Barat, sudah memiliki visi yang satu tentang madrasah, dan ini merupakan prestasi besar yang perlu mendapatkan apresiasi besar pula dari Dinas terkait maupun pemerintah daerah.
Akhirnya, bila kelak terbangun persatuan alumni madrasah, atau organisasi-organisasi lain yang manisbatkan diri pada madrasah, layaknya PGM, rasanya madrasah sebagai “komunitas yang terbayangkan” sudah bukan bayangan lagi. Bila solidaritas dan rasa ke-madrasah-an telah terpatri di hati, maka komitmen untuk bersama-sama memajukan madrasah sebagai garda depan pendidikan Indonesia bukan lagi mimpi belaka.
Anda di Garut, Bogor, Depok, atau di manapun, saya di Bandung, mari bersama-sama memajukan dunia pendidikan Indonesia melalui garba madrasah. Sebab kita berasal dari komunitas yang satu, komunitas yang (selalu) terbayangkan.
(Adang Hambali : Penulis, Kandidat Doktor Pendidikan UPI, Pengajar di Fakultas Pendidikan Agama Islam UIN Bandung)

1 komentar:

  1. MASIH MENDINGAN KALU BARU SEBATAS TERBAYANGKAN, CELAKANYA KALAU SUDAH DILUPAKAN.
    WAH AKHIRNYA JADI TANTANGAN JUGA BAGI PARA PENDIDIK (misalnya :DOSEN).

    SAYA YAKIN, SEMOGA DENGAN BERDIRINYA ATAU KEBERADAAN PGM ITU DAPAT MEMBERIKAN SUMBANGANN PEMIKIRANNYA ATAS KEPRIHATIAN YANG ADA INI.

    BalasHapus

Mohon tulis komentar/saran/ide dll anda di dalam kotak dibawah ini. Jangan lupa tuliskan pula alamat email/website atau yang lainnya agar kami bisa me-reply langsung pada anda. Terima Kasih.